Sabtu, 10 Mei 2014

Masa Suram di SMA: Ujian Nasional

Beberapa saat yang lalu aku ngobrol dengan salah seorang temanku tentang rencana liburan. Entah mengapa, bahan obrolan melantur simpang siur dan akhirnya kami membicarakan ujian nasional. Saat itu kami membahas tentang UN 2014 yang katanya memuat soal berstandar internasional, siswa yang bunuh diri karena putus asa, dan yang paling membuatku sesak adalah kecurangan yang terjadi pada UN.

Aku teringat peristiwa beberapa tahun yang lalu. Saat itu aku adalah siswa kelas XII pada sekolah terpandang di daerahku. Ya, aku sekolah di SMA favorit gitu loh.... Statusnya emang SMA Negeri, tapi saat itu SMA-ku memang punya nama dan gengsi yang sulit disaingi SMA lain. Katanya anak-anak SMA tersebut cerdas-cerdas (entahlah?).

Saat paling menyakitkan adalah detik-detik menjelang dan saat menghadapi Ujian Nasional. Aku merasa benar-benar tertekan. Aku berusaha tetap tampil ceria meskipun dalam hati aku menangis tersedu-sedu akibat kekecewaan yang begitu mendalam terhadap sekolah tempatku belajar.

Aku sedih banget karena aku diminta untuk ngasih contekan ke teman-teman. Beberapa teman mendatangiku dan memintaku untuk ikut berpartisipasi dalam program bagi-bagi jawaban UN. Ya, mereka merekrut beberapa siswa yang mereka anggap pintar sebagai 'otak'-nya. Si otak-otak itulah yang selama UN harus setor jawaban lewat SMS. Untuk koordinator dan compiler, direkrutlah siswa-siswa kelas XI yang memang libur saat UN. Betapa mereka mempersiapkan rencana yang begitu terorganisasi demi mendapatkan nilai UN yang bagus.

Ga cuma teman-teman kelas XII, pihak sekolah pun melakukan permohonan yang sama meski tidak secara langsung menunjuk siswa-siswa tertentu menjadi 'otak'-nya. Karena udah dilobi duluan sama teman-teman kelas XII, sebetulnya aku ga begitu kaget ketika sekolah minta murid-muridnya untuk saling ngasih contekan (toh di SMP juga pernah kaya gitu). Tololnya, pihak sekolah melakukannya sesaat setelah doa bersama menjelang UN. Di dalam mesjid pun! Sinting! Merusak suasana khidmat dalam batinku saja! Heran, berani-beraninya di dalam tempat ibadah berbuat demikian. Kabarnya, mereka bahkan sudah bekerja sama dengan sekolah-sekolah lain agar pengawasan silang antarsekolah dilonggarkan. Boo!

Kedua kelompok oknum tersebut benar-benar membuatku bimbang. Di satu sisi, aku emang agak kasihan kalau ada yang ga lulus UN. Di sisi lain, mencontek bukan perbuatan yang benar untuk meraih nilai yang bagus. Mencontek itu melanggar integritas. Aku sih penginnya ga nyontek dan ga ngasih contekan. Tapi karena takut dikucilkan, dibenci, dan di-bully akhirnya aku ngasih jawabanku. Ga 100% sih, ya kira-kira 70%. Itu pun dengan berat hati.

Begitu Ujian Nasional berakhir, aku menyesal telah memberi contekan. Aku menyesal telah ikut serta dalam konspirasi yang menyakitkan hati. Ya, harusnya aku lebih tegas menolak permintaan mereka. Harusnya aku tahu, tanpa aku pun mereka masih akan tetap lulus. Toh, standar kelulusannya masih sangat rendah, hanya nilai empat koma sekian; tidak sampai angka lima. Aku hanya menjadi alat untuk mengkatrol nilai mereka saja. Aku menyesal. Aku sedih. Aku sakit.

Begitu pengumuman kelulusan UN muncul, aku sudah tidak tertarik lagi. Pertama, aku sudah yakin bahwa aku lulus UN sekalipun aku belum melihat pengumuman. Ya, selama beberapa kali try-out yang katanya soalnya lebih sulit dibanding UN, aku selalu masuk jajaran peringkat atas dengan nilai rata-rata sekitar delapan. Yakin banget gue lulus UN! Kedua, aku juga yakin bahwa namaku tidak akan muncul dalam 10 besar nilai UN tertinggi di sekolah. Bahkan masuk 30 atau 40 besar pun rasanya tidak mungkin. Apalagi peringkat kabupaten, entah ada di urutan keberapa ratus. Pengalaman di SMP membuktikan demikian. Ga ada alasan lagi buat mantengin pengumuman kelulusan. GUE UDAH TAHU APA YANG PENGIN GUE TAHU!

Karena itu aku merasa sangat bahagia ketika aku diterima masuk kuliah. Ya, di tempatku kuliah ujian akhir semester diawasi dengan sangat ketat. Hukuman bagi yang mencontek dan yang ngasih contekan adalah drop out. Aku merasa sangat merdeka karena tidak dihantui rasa bersalah atau kekhawatiran akan bullying akibat nggak mau ngasih contekan. Hahahaha.

1 komentar:

  1. Hal yang hampir sama juga saya rasakan. Di SD, SMP,SMA tidak jauh berbeda. Beruntung di kampus yang berafiliasi dengan "pabrik" sangat menuunjung tinggi integritas. :)
    Salam kenal mbak :)

    BalasHapus