Apa itu jatuh cinta? Entahlah, aku juga tidak begitu paham. Lebih puyeng lagi karena beberapa waktu yang lalu Princess sms aku tanya-tanya tentang pengalamanku jatuh cinta. Whuzz.... I'm so shocked. Mungkin aku pernah beberapa kali jatuh cinta. Tapi aku sendiri tidak begitu yakin.
Peristiwa
jatuh cinta pertama kali yang masih kuingat saat ini adalah saat aku
masih SD, sekitar kelas 3 atau 4 gitu. Ceritanya aku punya tetangga
belakang rumah yang punya anak yang kira-kira setahun lebih muda dariku.
Di sekolahan dia adik kelasku. Karena
ga sekelas aku ga gitu akrab sama tu anak. Di sekolah aku ga pernah main
bareng sama dia. Di rumah juga ga pernah karena aku sendiri anak
rumahan. Tapi entah kenapa suatu hari aku sama dia main pasar-pasaran
bareng di halaman belakang. Saat itu benar-benar aneh. Kami yang jarang
ngomong tahu-tahu aja langsung akrab. Saat itu sih kami nggak cuma
berdua doang. Masing-masing bawa adik, jadi totalnya empat orang. Tapi
aku sendiri ga begitu ingat adik-adik kecil ngapain aja. Pokoknya
tahu-tahu kami berdua jadi akrab banget kaya udah lama main bareng.
Keesokan harinya (atau mungkin lusa, entahlah) aku denger kabar dari ibu
kalau tetangga belakang rumah pindah. Aku sangat syok dan terpukul.
Kenapa coba ngga dari dulu-dulu main barang sama dia? Kenapa baru di
akhir kita merajut kebersamaan penuh keceriaan? Sore itu aku mengurung
diri di kamar sambil menangis tersedu-sedu penuh kesedihan. Sungguh
merana, aku merasa kehilangan sesuatu yang sangat berharga bagai
permata. Kalau mengingat peristiwa ini, hatiku kembali pilu, tapi lucu
juga sih.
Selanjutnya peristiwa waktu aku kelas 2 SMP alias kelas 8.
Dulu kalau ujian semester, demi menghemat tempat dan waktu, ujian kelas
7 dan 8 digabung. Kalau ujian biasa kan satu kelas dipecah jadi dua
ruang, setiap ruang cuma terisi setengah doang, dua meja yang
bersebelahan cuma diisi seorang siswa kelas 8. Nah, di sekolahku kursi
sebelah yang kosong itu dipake buat yang kelas 7. Nah, gara-gara anak
kelas 7 di sebelahku itu tuh aku jadi deg-degan gimana gitu tiap jam
ujian, apalagi dianya cute nan innocent. Belum lagi gemes kalo ngeliat
beberapa soal yang harusnya doi kerjain masih kosong. Dengan sok
pintarnya aku pun bantu ngerjain. Ternyata aku yang anti
contek-mencontek ini tidak tega dan luluh lantak. Eh, aku ga ngasih
contekan ding, cuman bantu ngerjain. Itu pun ga banyak dan ga semua
mapel. Cuma beberapa soal aja. Entah gimana kejadiannya, kayanya
teman-teman dia pada tahu aku sama dia ada peristiwa begituan, dan
mereka merasa aku ada perasaan ke dia. Di luar ujian, tiap kali kami
berpapasan selalu di-cie-cie, terus mukaku jadi merah. Lebih tragis
lagi, seorang teman sekelas dia adalah temanku di sebuah organisasi.
Bagus sekali ada orang dalam yang tukang ngomporin. Setelah aku naik ke
kelas 9, kami jarang berpapasan lagi. Ujian juga sebangku sendirian.
Udah ngga di-cie-cie, tapi kalau ketemu masih malu-malu kucing.
Nah,
di kelas 9 itu aku merasa sesuatu pada teman seangkatan. Dia beda kelas
denganku. Tapi lagi-lagi aku punya teman di kelasnya. Cuman yang ini
aku sukanya diam-diam aja. Ga ada yang tahu sama sekali; dia nggak,
temanku dikelasnya juga nggak. Aku cuma mengamati dari kejauhan doang.
Cuma saking penasarannya, aku pernah menguntit dia pulang karena pengin
tahu rumahnya. Aku tunggu dia keluar kelas, kuikuti dia. Di tempat
parkir, kami mengambil sepeda, tapi aku pura-pura ngga liat dia. Di
jalan, aku menjaga jarak agar ga terlalu keliatan lagi nguntit. Sialnya,
di suatu perempatan dia berhasil menyeberang dengan rombongan kendaraan
di depan sementara aku tertahan lampu merah beberapa meter di
belakangnya. Begitu lampu berubah ijo, buru-buru kukejar meski harapanku
tinggal setipis kertas karena kehilangan jejak. Kiri-kanan jalan
kuamati kalau-kalau ada sepeda miliknya terparkir di depan rumah.
Sayangnya cara itu tidak membuahkan hasil. Biar begitu aku masih tetap
melanjutkan perjalanan meski pelan-pelan. Tak dikira, tak dinyana,
tetiba dia muncul berjalan kaki dari gang kecil jarak 5 meter di depan
ku di seberang jalan. Benar-benar sangat mengejutkan. Aku salah tingkah.
Dia berjalan ke arah selatan, sedangkan aku ke utara. Untungnya, dia
sepertinya tidak curiga dengan keberadaanku di situ (atau mungkin dia
tidak tahu? entahlah). Aku tidak berani berbalik arah untuk pulang
hingga beberapa jauh dari situ. Begitu aku berbalik arah, dianya udah ga
kelihatan. Ya, meskipun aku tidak tahu secara pasti rumahnya dimana,
setidaknya aku tidak kecewa.
Hal yang membuatku menandak-nandak
sinting di akhir SMP adalah peristiwa perpisahan. Acara perpisahan di
sekolahku dibentuk kaya wisuda gitu. Siswa-siswi dipanggil naik
panggung. Nah, biar ga makan banyak waktu manggilnya ga satu-satu, tapi
berpasangan dari arah kiri dan kanan. Kebetulan banget, kelasku
berpasangan dengan kelasnya si dia. Aku itung-itung dari nomor presensi
sih kami urutannya selisih sedikit, satu apa dua orang gitu. Tapi kalau
ada yang ga menghadiri wisuda, ada kemungkinan kami naik panggung
bareng, hohoho. Beneran lah, kami dipanggil bareng. Kami naik panggung,
dikalungin liontin, terus turun lewat tengah panggung. Dari situ kami
jalan bareng berdampingan menuju tempat duduk masing-masing. Mana tempat
duduknya jauh lagi dari panggung. Sepanjang jalan aku senyum lebar
antara bahagia dan gila. Orang-orang mungkin mengira aku senang karena
lulus udah diwisuda, padahal aku senang karena jalan bareng di samping
dia, hohoho.... Sekali lagi ga ada yang tahu. Kesenangan yang kusimpan
sendiri.
Di SMA, kejadiannya lebih membingungkan lagi. Aku meyakini
pernah jatuh cinta satu kali. Ada juga satu kali mirip jatuh cinta, tapi
tidak begitu jelas. Sekali pula sempat dikira pacaran dengan orang yang
sama sekali tidak aku pacari.
Aku pernah jatuh cinta pada adik
kelas (aku merasa itu sepertinya emang perasaaan jatuh cinta).
Sintingnya, dia sama sekali bukan orang baru bagiku. Kami emang ga
se-SMP. Tapi dulu kami se-SD karena kami berasal dari desa yang sama.
Pun bertetangga dalam satu RW. LOL! Rumahnya? Tahu banget lah, orang
tetanggaan. Aku ga tahu mengapa aku merasa 'sesuatu' ketika berada di
dekatnya atau melihat wajahnya. Hanya saja dia memang nampak berbeda
dari orang kebanyakan. Aku ga bisa cerita banyak-banyak tentang ini,
soalnya aku emang ga ngapa-ngapain, diem aja. Perasaan itu kusimpan
dalam hati. Tapi sebetulnya justru ini sangat berkesan bagiku.
Sekali lagi, di SMA aku merasa seperti jatuh cinta. Tapi yang ini
perasaanku ga seintens seperti pada tetangga se-RW itu. Jadi aku
sebetulnya masih bingung apakah ini jatuh cinta atau bukan. Sebetulnya
dia seangkatan sama tetangga se-RW ku; mereka adik kelasku. Aku belum
kenal dekat dengan dia. Aku ga tahu rumahnya sebelah mana. Aku ga tahu
sifatnya seperti apa. Tapi sejauh yang kuamati, dia baik. Dia ga seperti
orang kebanyakan. Udah, itu doang.
Oh ya, tentang rumor aku
pacaran, itu benar-benar mengejutkanku. Pun itu aku tahu rumor itu
setelah lulus SMA. Hah? Kemana aja gue tiga tahun sampai ga tahu gosip
tentang diri sendiri? Seorang guru bertanya padaku gimana kabar
hubunganku dengan gebetanku. Apa? Gebetan? Sejak kapan coba? Aku sama
sekali ga ngerti siapa yang beliau maksud sebagai gebetan. Akhirnya
beliau menyebut nama seorang temanku, Al. Seketika DHOR! Al? Yakin?
Sejak kapan coba aku sama Al pacaran? Emang sih kami temenan akrab. Tapi
aku jadi bingung banget.
Al. Aku baru kenal dia ketika SMA. Kami
seangkatan, tapi ga sekelas. Seperti biasa, di kelas Al dan kelas
sebelahnya aku ada teman. Awalnya sih aku sering main ke kelas
sebelahnya Al karena teman akrabku ada di situ. Tapi lama-lama kelasnya
Al ikutan nimbrung juga. Nah, aku ga ingat awal cerita aku kenalan sama
Al. Tahu-tahu aja kami sudah akrab. Mungkin karena kami memiliki passion
yang sama terhadap ilmu pengetahuan. Al seneng banget kalau diajak
ngobrol tentang perkembangan sains. Klop deh. Meski beda kelas, kami
cukup sering ngobrol di taman; nggak berduaan, tapi sama anak-anak lain.
Nggak disangka, naik ke kelas 11 aku sekelas dengan Al. Jadilah kami
seperti api dengan minyak; kalau ketemu langsung meledak. Kami yang
biasa diam duduk tenang menikmati penjelasan guru dan hanya aktif
berbicara saat kegiatan diskusi sahaja langsung ribut sendiri ketika jam
istirahat tiba. Tapi kami ributnya baik-baik kok, paling diskusi ringan
(paling banter sambil tunjuk-tunjuk dan pelototan); ga pernah
jambak-jambakan apalagi sampai ngebakar gorden kelas. Kebtulan juga kami
sama-sama hobi mengunjungi perpustakaan daerah. Meski ngga datang
bareng, tapi di kelas kami suka saling pamer buku yang baru dipinjam.
Hingga kelas 12 pun, aku sama Al gitu-gitu aja. Kami ga ada kencan. Ga
pernah mesra-mesraan. Ga ada jadian. Pegang-pegangan juga ga pernah.
Nyolok mata apalagi, itu juga ga pernah. Kami ga pacaran. Sama sekali
enggak. Tapi emang hubungan di antara kami ga sama dengan teman biasa
lainnya. Aku bingung ngejelasinnya gimana. Tapi secara official kami
memang teman, bukan pacar. BTW kami punya panggilan khusus; aku manggil
Al dengan sebutan 'kakak', Al manggil aku 'adik'. Hahaha, sinting. Entah
mengapa kami seperti saudara sendiri. Nah itu dia, aku sama Al emang
kaya saudara, tapi juga nggak yang kaya keluarga-keluarga banget.
Sepertinya relationship antara aku dan Al jatuh pada lokasi yang belum
diidentifikasi secara jelas. Mungkin karena itu orang-orang pun
melihatnya dengan cara yang berbeda-beda pula. Haduh, puyeng. BTW,
mendadak aku baru inget kalau aku dan Al pernah foto berdua. Ya tapi itu
fotonya di tempat rame.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar